MEDAN – Polisi terus mengusut kasus pembunuhan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jamaluddin. Penyidik menduga korban dibunuh oleh orang dekat.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Raden Argo Prabowo Yuwono menyampaikan, pihaknya telah memanggil sekitar 18 saksi.
“Bahwa penyidik di Medan memeriksa 18 saksi. Penyidik olah TKP, Labfor, kita kumpulkan dan semua digelarkan,” kata Argo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (3/12/2019).
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Suhadi mengutuk kasus dugaan pembunuhan terhadap Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jamaluddin.
Tragedi pilu itu terjadi Jumat, 29 November 2019 di area kebun sawit di wilayah Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
“Kami mengucapkan belasungkawa dan mengutuk insiden ini. Kami berdoa supaya keluarga ditinggalkan diberi ketabahan dan Kepolisian cepat mendapatkan titik terang,” kata Suhadi di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Senin 2 Desember 2019.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari keluarga korban, kata Suhadi, Jamaluddin mengaku sempat mendapatkan telepon dari kerabatnya sesaat sebelum beraktivitas rutin sebagai Hakim. Namun keluarga tidak tahu persis siapa sosok yang meneleponnya.
“Ditelepon oleh sahabat kenalan beliau untuk menjemput di Kualanamu, dari rumah beliau kendalikan sendiri mobilnya,” ucap Suhadi.
Almarhum dikabarkan sempat mampir ke tempat kerjanya di Kantor PN Medan. Namun rekaman CCTV atau finger print absensi tidak menemukan jejak Jamaluddin pada pagi hari sebelum ditemukan tewas.
“Sempat absen katanya, tapi hingga sampai jam 1 siang belum ada informasi datang ke kantor, hingga pukul 3 sore ditemukan di kebun kelapa sawit dekat jurang dan diduga ini ada pembunuhan,” beber Suhadi.
Suhadi enggan berspekulasi mengaitkan kasus dugaan pembunuhan itu dengan perkara-perkara yang ditangani Jamaluddin.
Namun dia mengamini bahwa pengamanan melekat kepada hakim hingga saat ini belum ada. Karenanya, pihaknya terus mendorong adanya pengamanan lewat UU Contempt of Court agar martabat hakim tetap agung tak cederai serta terlindungi.
“Selama ini kalau untuk perlindungan kita meminta Polri, tapi hanya yang berkaitan dengan kasus. Tapi kalau yang definitif belum ada. Kita lagi dorong lewat UU ke DPR soal itu,” kata Suhadi menandaskan. (net)