Ngidang Palembang Didaftarkan WBTB

Gedung Pemerintah Kota Palembang (Foto: Ist)

PALEMBANG – Kebudayaan warisan ngobeng atau dikenal ngidang sudah menjadi tradisi masyarakat Melayu, khususnya wong kito Palembang.

Dinas Kebudayaan Pemerintah kota Palembang menyatakan jika ngidang akan didaftarkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Kepala Dinas Kebudayaan, Zanariah mengatakan tradisi ngidang hampir ditinggal oleh mayarakat akibat perkembangan zaman. Pada tahun depan, acara ngidang akan didaftarkan menjadi warisan budaya ke Unesco sehingga resmi menjadi milik Palembang.

“Saya mohon doanya, kegiatan ngidang ini menjadi WBTB dari Unesco, sehingga tidak bisa diklaim oleh orang lain. Selain itu, pada ngidang ini juga didaftarkan makanan burgo sebagai makanan khas Palembang,” katanya.

Makna ngindang, kata Zanariah menjadi sangat luar biasa karena mengandung nilai saling bahu membahu dan bersedia berbagi makanan.

“Jika kita lihat kembali cara ini merupakan hal yang terlihat biasa namun dibalik itu ada nilai sejarah pada tempo dulu yaitu tata cara makan seperti di Palembang,” sambungnya.

Sejarah ngidang berasal dari tanah Arab, namun pada zaman kesultanan Demanan, cara menghidangkan berubah menjadi lebih menyatu.

“Untuk di Palembang sendiri kebudayaan ini masih melekat di daerah Tangga Buntung, 13-14 ulu yang masih mempertahankan tradisi tersebut ditengah kemajuan zaman. Inilah yang menjadi tugas utama kami untuk kembali memperkenalkan warisan budaya serta mempertahankannya,” ungkapnya.

Sekretaris Daerah (Sekda) Palembang, Ratu Dewa melalui Staf Ahli Wali Kota Palembang bidang ekonomi pendapatan daerah, hukum dan HAM, Altur Febriyansyah mengatakan ngidang merupakan warisan budaya leluhur Palembang. Tradisi makan ini memilik makna yang mendalam dengan nilai kerjasama.

“Ya, sebelum makan, kita bersama-sama harus mengidangkannya atau menyajikan terlebih dahulu. Dalam satu hidangan terdiri dari delapan orang, kemudian makan bersama.”

“Ini sebagai wujud gotong royong yang harus kita lestarikan, karena untuk makan kita menyediakan makanan secara gotong royong, ada nilai positif, bisa menjalin komunikasi tanpa memperhatikan status sosial, semuanya rata duduk bersila,” terang Altur. (hmy)