Jakarta – Pemerintah Indonesia melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berjanji menurunkan harga jual bahan bakar minyak Pertamina dengan syarat jika minyak mentah dunia mengalami penurunan harga.
“Banyak yang bicara, nanti kalau harga minyak dunia turun seperti apa? pasti kami turun,” ujarnya dalam sesi wawancara dengan para jurnalis usai meninjau persediaan BBM nasional melalui fasilitas Pertamina Integrated Enterprise Data and Command Center (PIEDCC) di Graha Pertamina, Jakarta, Rabu.
Erick mengungkapkan langkah yang pemerintah lakukan dengan menaikkan harga BBM jenis pertalite, biosolar, dan pertamax adalah cara untuk mengurangi pemborosan subsidi energi, sehingga alokasi subsidi energi dalam APBN dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek strategis nasional, seperti pembangunan jalan bebas hambatan, pembangunan bandara, pembangunan bendungan untuk irigasi pertanian, dan lain-lain.
Sepanjang tahun 2016 sampai 2022, pemerintah membangun 128 proyek strategis nasional dengan nilai investasi sebesar Rp716,4 triliun. Sedangkan, subsidi alokasi energi dalam APBN tahun ini nilainya mencapai Rp502 triliun.
Erick mengatakan harga minyak mentah dunia sekarang senilai 95 dolar AS per barel, jika nanti turun ke angka 75 dolar AS per barel, maka pertamax akan menyesuaikan dengan harga pasar yang artinya harga pertamax bisa turun.
“Tapi apakah solar dan pertalite itu nanti harga pasar? ya enggak bisa, (tetap) subsidi,” kata Erick.
Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 yang telah disepakati oleh Badan Anggaran DPR bersama pemerintah pada 9 September 2021 lalu, nilai asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) tahun ini adalah sebesar 63 dolar AS per barel.
Harga ICP yang terus melambung akibat kondisi geopolitik global membuat beban APBN meningkat karena Indonesia masih mengimpor minyak sekitar 700 ribu barel minyak per hari untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.
Erick meminta agar masyarakat tidak lagi membanding-bandingkan harga BBM Indonesia dengan negara lain yang menjual BBM dengan harga murah, karena negara-negara itu mayoritas masih menghasilkan minyak.
“Indonesia sudah (menjadi) negara impor BBM dari tahun 2003, ini kadang-kadang yang kita persepsinya itu belum menyadari karena dulu kita selalu ingat kita negara OPEC,” ungkap Erick.
“Jumlah penduduk bertambah dari berapa ratus juta (dulu) sekarang 273 juta; mobil tambah yang artinya penggunaan BBM meningkat; belum lagi industri petrochemical membutuhkan crude oil yang kita produksi untuk plastik, baju, dan lain lain. Dengan hal seperti itu, suka tidak suka kita harus mulai mengefisienkan impor, harus juga mengurangi ketergantungan dengan BBM,” imbuhnya. (ant)