



Solo – Kebebasan pers bukan sekadar hak, melainkan prasyarat utama bagi tegaknya demokrasi. Hal itu ditegaskan Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, Busyro Muqoddas, saat membuka kegiatan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di Solo, Jawa Tengah, Jumat (5/7).
Dalam kegiatan yang digelar Dewan Pers bekerja sama dengan Lembaga Uji Kompas dan Solopos pada 4–5 Juli 2025 tersebut, sebanyak 36 wartawan dari berbagai jenjang diuji kompetensinya sebagai bagian dari komitmen peningkatan kualitas profesi jurnalis di Indonesia.
Menurut Busyro, profesi wartawan memikul peran jauh lebih besar dari sekadar menyampaikan informasi. “Wartawan itu penjaga harapan publik baik nasional maupun internasional terutama mereka yang mendambakan jurnalisme independen,” ujarnya seperti dikutip dari website Dewan Pers.
Ia menekankan bahwa jurnalisme yang merdeka dari tekanan politik maupun ekonomi adalah kebutuhan mendesak di tengah kontestasi demokrasi yang semakin kompleks. “Pers harus berani menjaga jarak dari kekuasaan, tetap kritis, dan berpihak pada kebenaran,” lanjut Busyro.
Dalam pidatonya, mantan pimpinan KPK ini juga mengingatkan bahwa kemerdekaan pers masih menghadapi tantangan serius, termasuk kekerasan simbolik dan intimidasi yang ditujukan kepada jurnalis. Busyro menyinggung dua kasus menonjol yakni pembunuhan wartawan Bernas, Udin, yang hingga kini belum terungkap, serta teror terhadap wartawan Tempo yang dikirimi kepala babi sebagai bentuk ancaman.
“Ini bukan sekadar serangan terhadap individu, tetapi simbol kekerasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi,” tegasnya. Namun demikian, ia juga menegaskan bahwa pers yang independen tetap menunjukkan kontribusi signifikan dalam mendorong perubahan. Salah satu contohnya adalah laporan investigatif Tempo tentang skandal impor daging, yang sempat diangkat menjadi kasus besar oleh KPK saat ia masih menjabat.
“Media punya kekuatan membangkitkan kesadaran publik. Itu yang membuat mereka harus dijaga dari intervensi,” ucapnya. Busyro juga menyoroti praktik intervensi halus yang kini marak, baik terhadap jurnalis maupun kalangan akademisi, berupa tekanan, intimidasi, atau pemberian fasilitas agar berpihak atau bungkam.
“Pers dan kampus harus tetap menjadi benteng independensi. Tanpa itu, negara ini tidak akan sehat, dan pemerintahan tidak akan berjalan dengan benar,” pungkasnya. (*)