Pelitasumatera.com, JAKARTA – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai lima pimpinan KPK terpilih merupakan pimpinan yang sesuai dengan selera politik DPR RI.
Menurutnya, komposisi pimpinan KPK terpilih itu sebenarnya sudah bisa ditebak sejak di Panitia Seleksi Capim KPK.
“Sebagaimana yang telah diprediksi sejak awal, Komisi III DPR RI akan memilih calon Pimpinan KPK yang sesuai dengan ‘selera politik’ mereka. Meskipun hal itu harus dengan mengabaikan berbagai catatan negatif terkait dengan calon Pimpinan KPK tertentu,” ujar Kurnia di Jakarta, Jumat (13/9).
ICW, mencatat tiga isu besar mencermati komposisi Pimpinan KPK terpilih ini. Pertama, kata dia, terkait rekam jejak buruk di masa lalu karena seorang figur yang dipilih oleh DPR merupakan pelanggar kode etik.
“Salah seorang figur yang dipilih oleh DPR merupakan pelanggar kode etik, hal ini diambil berdasarkan konferensi pers KPK beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, bahkan KPK telah membeberkan terkait pertemuan yang bersangkutan dengan salah seorang tokoh politik,” jelas dia.
Isu kedua, lanjut Kurnia, masih terdapat Pimpinan KPK terpilih yang tidak patuh dalam pelaporan LHKPN di KPK. Padahal, kata dia, pelaporan LHKPN ini merupakan mandat langsung dari UU Nomor 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016.
“Namun, persoalan ini (laporan LHKPN) terlewat begitu saja pada setiap tahapan seleksi, padahal LHKPN merupakan mandat undang-undang,” lanjut dia mengkritisi.
Isu ketiga, kata Kurnia, proses seleksi sampai fit and proper test di DPR tidak mengakomodasi masukan dari masyarakat. Padahal, sejak awal berbagai elemen masyarakat, organisasi, serta tokoh sudah mengungkapkan bahwa ada persoalan serius pada seleksi Pimpinan KPK kali ini.
Kurnia lantas menyebutkan sejumlah tokoh yang telah memberikan masukan, antara lain Ibu Shinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, Pimpinan Muhammadiyah, Mahfud MD, dan puluhan Guru Besar hukum dari berbagai universitas di Indonesia.
“Namun, masukan tersebut juga tidak diakomodir, baik oleh Pansel, Presiden, maupun DPR. Sehingga dapat dikatakan bahwa seleksi Pimpinan KPK kali ini hanya dijadikan urusan segelintir elite politik saja, tanpa melibatkan masyarakat luas,” tandas dia.
Menurut Kurnia, situasinya sekarang memang tidak ideal dalam konteks pemberantasan korupsi. Apalagi, kata dia, sikap DPR dan pemerintah yang kompak dalam rencana revisi UU KPK.
Namun, Kurnia mengajak elemen masyarakat sipil agar tidak berputus asa untuk melakukan perbaikan, pembenahan dan upaya melawan korupsi.
“Sebagai anak kandung reformasi yang dilahirkan antara lain oleh TAP MPR XI/ 1998, pelemahan tebadap KPK adalah pengkhianatan terhadap mandat reformasi dan mimpi bangsa soal demokrasi yang sehat.”
“Sebagai elemen masyarakat sipil, kami mendorong agar seluruh komponen masyarakat, akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk kian memperkuat pengawasan terhadap KPK agar KPK tetap berjalan sesuai dengan harapan publik,” tambahnya.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI telah memilih lima pimpinan KPK periode 2019-2013 dalam rapat pleno di Senayan, Jakarta, Jumat dini hari. Kelimanya terpilih setelah mendapatkan suara terbanyak dalam voting yang diikuti 56 anggota Komisi III DPR RI.
Kelima pimpinan KPK tersebut yakni Firli Bahuri (polisi), Alexander Marwata (komisioner KPK), Nurul Ghufron (akademisi), Nawawi Pomolango (hakim tinggi) dan Lili Pintauli Siregar (advokat). Firli Bahuri mendapatkan suara tertinggi dan menjadi Ketua KPK periode 2019-2023. (net)