Dewan Pers: Narsum Bicara Tak Sesuai Keahliannya, Tak Layak Diberitakan

Di tengah persaingan bisnis yang terjadi saat ini di industri air minum dalam kemasan (AMDK), banyak organisasi-organisasi dan nama-nama yang muncul secara dadakan dan menyebar ‘Siaran Pers’ ke media-media sekaligus menjadikan diri mereka sebagai narasumber meski tidak memiliki pengetahuan atau keahlian sama sekali mengenai topik yang dibicarakan. Sayangnya, beberapa media online tetap menayangkan rilis yang mereka buat.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Dewan Pers, yang juga wartawan senior Kompas, Hendry Ch Bangun mengatakan seharusnya berita-berita seperti itu tidak layak untuk ditayangkan. “Buat apa dimuat?,” katanya.

Menurutnya, pemuatan rilis itu tergantung nilai beritanya apakah ada atau tidak. Kemudian juga sesuai atau tidak dengan visi misi media itu. “Dan harus dicek apakah berimbang atau partisan. Sebab yang kena nanti kan medianya kalau ada apa-apa,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo. Menurutnya, media massa harus memeriksa otoritas dan kredibilitas sumber sebelum mengutip sumber tersebut. “Otoritas dan kredibilitas sumber menentukan apakah dia layak dikutip atau tidak,” ucapnya.

Ketua Pokja Media Sustainability  Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Hery Trianto mengatakan kerja di dunia jurnalis pada umumnya rilis itu perlu diperiksa ulang dan harus cover both side (mencakup dua sisi).

“Yang penting sebenarnya apakah benar informasinya, harus diverifikasi, kemudian kalau melibatkan dua pihak apalagi itu yang berkonflik seperti yang terjadi pada perusahaan AMDK saat ini, harus dicek kebenaran dari klaim-klaim yang mereka lakukan,” tukasnya.

Sebelumnya diberitakan, sebuah organisasi yang menamakan dirinya FMCG Insights muncul secara dadakan di tengah munculnya persaingan bisnis di industri AMDK.  Koordinatornya yang bernama  Muhammad Hasan membuat rilis sendiri dimana dirinya juga sebagai narasumber pemberitaan.

Dalam rilisnya, ia menyampaikan persoalan soal potensi bahaya Bisfenol A (BPA) pada galon berbahan polikarbonat, padahal sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang tersebut. Fatalnya, ia bahkan berani mengkritisi para pakar polimer dan pakar teknologi pangan yang sangat memiliki kredibilitas dalam keilmuan.

Sayangnya, ada yang menggerakkan penyebaran siaran pers yang mereka buat itu sehingga dimuat secara luas oleh beberapa media tanpa melakukan cek latar belakang narasumber.

Dengan melontarkan tudingan yang tidak benar terhadap para akademisi terkait isu BPA ini, Zainal mengatakan itu menunjukkan bahwa pihak-pihak yang berusaha menjatuhkan produk-produk berbahan Polikarbonat itu sudah kalah dalam pertarungan ilmiahnya.  “Itu menunjukkan orang-orang itu sudah kalah di pertarungan ilmiah, sehingga banyak membuat berita-berita hoaks,” tuturnya.

Zainal menyampaikan bahwa para ilmuwan akademisi itu memiliki etika dan kredibilitas. “Kita kan punya kredibilitas. Tapi sekarang seolah semua bisa bebas membuat berita. Tapi akhirnya masyarakat juga nanti yang akan menilai mana yang benar mana yang hoaks,” tukasnya.

Dia juga menegaskan bahwa dalam membuat kebijakan terkait kemasan itu, BPOM selalu meminta tanggapan dari para pakar, termasuk soal pelabelan BPA ini. “Kita sudah sampaikan ke BPOM pendapat kita, kenapa orang lain yang sama sekali tidak terkait masalah ini yang jadi ribut,” ucapnya. (Net)