Walhi: Adipura KLHK Tidak Sejalan Vonis Gugatan Banjir Pada Wali Kota Harnojoyo

Banjir di Jalan Mayor Ruslan, Rabu (15/4/2020) pengendara motor terpaksa mendorong motornya untuk lewati banjir.

Palembang – Wali Kota Palembang Harnojoyo kembali menerima penghargaan Adipura pada tahun ini. Meski menjadi penghargaan Adipura ke-13 bagi kota Palembang, namun penghargaan ini dinilai tidak sejalan dengan vonis gugatan banjir warga pada Wali Kota Harjonoyo.

Hal ini disebut Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan, Yuliusman. Walhi menyebutkan jika penghargaan Adipura kategori kota Metropolitan yang diserahkan Menteri KLHK sangat mencedarai warga kota Palembang.

“Tindakan KLHK ini jelas-jelas ceroboh dan tidak sesuai dengan fakta lapangan kota Palembang. Ada fakta dan putusan pengadilan yang mestinya menjadi perhatian yaitu Putusan Gugatan Tindakan Faktual WALHI terhadap Walikota Palembang No. 10/G/TF/2022/PTUN PLG PTUN Palembang 20 Juli 2022,” ujarnya

Dalam putusan gugatan itu majelis hakim telah mengadili dalam pokok perkara mengabulkan gugatan Walhi dan
warga untuk seluruhnya dan menyatakan Tindakan Wali Kota Palembang harus melakukan sejumlah vonis ini.

Vonis berupa melaksanakan Rencana Tata Ruang Wilayah Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Tahun 2012-2023, berupa tidak menyediakan Ruang Terbuka Hijau, tidak mengembalikan fungsi Rawa Konservasi, tidak menyediakan kolam retensi, tidak menyediakan saluran drainase yang memadai dan tidak tersedianya fasilitas tempat pembuangan sampah yang layak di tiap-tiap kelurahan serta kurangannya penanganan sampah.

“Sehingga terjadinya banjir di kota Palembang pada tanggal 25 – 26 Desember 2021 adalah Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pejabat Pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad,” ujarnya.

Tidak melakukan penanggulangan bencana banjir dalam situasi terdapat potensi bencana berdasarkan Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana sehingga menyebabkan terlantarnya korban banjir sampai merenggut korban jiwa pada tanggal 25 Desember 2021 adalah perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

“PTUN Palembang juga mewajibkan kepada tergugat (Walikota Palembang) untuk; menyediakan RTH (Ruang Terbuka Hijau) seluas 30% (tiga puluh persen) dari luas wilayah Kota Palembang serta mengembalikan fungsi Rawa Konservasi seluas 2.106,13 Ha di wilayah Kota Palembang sebagai fungsi pengendalian Banjir di kota Palembang,” terang ia.

“Menyediakan Kolam Retensi secara cukup sebagai fungsi Pengendalian Banjir dan saluran Drainase yang memadai dalam meliputi: saluran primer, sekunder dan tersier serta terhubungan dengan kolam retensi dan masing-masing Daerah Aliran Sungai yang diolah menjadi air sesuai baku mutu air bersih agar air sungai yang tercemar limbah rumah tangga seperti sabun, detergen, dan lain-lain bisa diolah sebagai fungsi pengendalian banjir di kota Palembang,” sambung Yuliusman.

Menyediakan Tempat Pengelola Sampah yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan air sebagai fungsi pengendalian banjir di Kota Palembang sekaligus menyediakan “Posko Bencana Banjir” di lokasi yang terdampak banjir, melakukan kesiapsiagaan peringatan dini dan mitigasi bencana kepada warga kota Palembang dalam tanggap darurat bencana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana sehingga menyebabkan terlantarnya korban banjir sampai merenggut korban jiwa pada tanggal 25 Desember 2021.

“Oleh karena itu maka Walhi mendesak KLHK untuk mencabut Piala Anugerah Adipura kategori kota Metropolitan ke-13 kota Palembang karena kota Palembang saat ini darurat bencana ekologis yaitu banjir. Secara hukum persoalan banjir serta turunannya yaitu tata ruang, sampah, retensi, drainase dan RTH yang menjadi tolak ukur penting dalam pemberian Adipura telah diuji di pengadilan dan terbukti tidak terpenuhi oleh kota Palembang,” imbuhnya.