JAKARTA – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menganggap larangan pengambilan suara, foto dan video di ruangan sidang mengancam kebebasan pers.
Menurut PSHK larangan yang dibuat Mahkamah Agung itu justru berseberangan dengan asas keterbukaan pengadilan.
“(Larangan itu) mengancam kebebasan pers,” kata peneliti PSHK Agil Oktaryal dikutip dari Tempo.
Agil mengatakan asas keterbukaan pengadilan itu mengharuskan bahwa persidangan bisa diakses melalui alat dan kanal manapun.
Terlebih, kata dia, tren peradilan di banyak negara mulai terbuka. “Harusnya kalaupun mau mengatur, ketentuannya bukan ‘izin’ melainkan cukup ‘pemberitahuan’,” ujar dia.
Agil menilai sarana prasarana peradilan di bawah MA tidak memadai untuk menerapkan prinsip keterbukaan. Di sinilah peran pemberitaan oleh media diperlukan.
Kondisi itu, menurut Agil, berbeda dengan di Mahkamah Konstitusi yang memiliki kanal informasi lebih canggih.
“Misal risalah yang bisa keluar satu jam pasca sidang atau rekaman sidang di youtube yang otomatis di upload 10 menit setelah sidang,” kata dia.
MA resmi melarang pengambilan foto, suara, dan video selama sidang berlangsung. Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.
“Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman televisi, harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan,” demikian bunyi dalam surat edaran pada Rabu, 26 Februari 2020.
Surat edaran itu memuat poin lainnya, yakni seluruh orang yang hadir dalam sidang dilarang mengaktifkan ponsel selama persidangan berlangsung. Selain itu, pengunjung sidang dilarang keluar-masuk ruang sidang untuk alasan yang tidak perlu.