Jakarta – Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sudah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi UU. Keputusan itu diambil dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Sufmi Dasco Ahmad, Selasa (6/12/2022).
Bicara soal RUU KUHP, tentu tidak dapat dilepaskan dari peristiwa demo besar yang terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Jakarta, pada September 2019. Demo besar yang juga menolak revisi UU KPK itu berujung pada penundaan pembahasan RUU KUHP.
Jelang pengesahannya, terdapat protes dari pengusaha-pengusaha hotel lantaran RUU itu kan memberikan pengaruh negatif terhadap sektor pariwisata dan perhotelan. Salah satunya terkait pasal perzinaan yang mana diancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori II atau mencapai Rp 10 juta.
Salah satu yang dikhawatirkan pengusaha adalah jumlah wisatawan akan ogah datang ke Indonesia dan berpindah wisata ke negara-negara lain. Misalnya ke Singapura, Thailand, Malaysia, ataupun Vietnam.
Berdasarkan draf RKUHP versi 30 November 2022 yang dikirimkan jubir RKUHP, Albert Aries, Minggu (4/12/2022), KUHP saat ini yang berlaku adalah sisa peninggalan penjajah Belanda sehingga mencerminkan kultur masyarakat Belanda.
Salah satunya adalah tidak mempermasalahkan sepasang pria dan wanita melakukan hubungan seks di luar nikah atau zina sepanjang saling setuju atau kedua pasangan sama-sama mau. Perbuatan zina baru menjadi pidana bila salah satunya sudah menikah, atau kedua pasangan itu sudah sama-sama menikah.
Nah, nilai di atas dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat timur sehingga zina dimasukkan delik pidana. Hal itu tertuang dalam Pasal 411 RKUHP:
1. Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
2. Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
– suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
– Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Adapun norma baru yang diatur adalah soal kumpul kebo atau hidup serumah tanpa ikatan pernikahan. Di Belanda, hal itu menjadi lumrah dan tercermin dalam KUHP saat ini. Oleh penyusun, hal itu akan diubah menjadi delik pidana sepanjang ada aduan. Namun, ketentuan ini membuat resah pengusaha hotel di Indonesia.
Hal itu tertuang dalam Pasal 412 RKUHP yang berbunyi:
1. Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
– Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
– Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
2. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Bagaimana dengan LGBT?
Pemerintah dan DPR sepakat tidak mengkriminalisasi perbuatan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Dalam draf sebanyak 624 pasal itu, tidak ada pasal yang mengatur mengenai LGBT.
“Undang-undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,” demikian bunyi Pasal 624.
Keinginan agar LGBT masuk sebagai bagian delik pidana sudah lama didengungkan. Sekelompok masyarakat meminta MK mengkriminalisasi LGBT. Perdebatan berjalan sengit hingga akhirnya MK angkat tangan dan menyerahkan proses kriminalisasi LGBT ke DPR.
“Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru,” demikian pertimbangan MK. (net)