LABIRIN TAKDIR

LABIRIN TAKDIR

Oleh: Syaripa Anisa

PERNAHKAH kau merasa bahwa hidupmu sebenarnya telah selesai? Bahwa kau sudah mengerti tidak ada lagi yang bisa kau ekspektasikan di dunia ini. Kau mengerti bahwa memang ada sebagian orang yang dilahirkan untuk menjalani hari- hari dalam pelukan kasih keluarga. Tapi aku bukan bagian dari orang-orang itu, aku dilahirkan hanya untuk bermimpi dan mendamba. Tidak untuk mengalaminya secara nyata. Bahwa untuk garis hidupku, memiliki yang kuangankan adalah terlalu berlebihan. Bahwa bagi jalan takdirku, tidak memiliki yang kuimpikan adalah kecukupan.

Perkenalkan, aku Elfrina Thalassa. Aku adalah bunga yang mekar di taman panti asuhan, orang terdekatku di sana adalah sang pemilik panti, sosok yang kupanggil “Bunda”. Dalam dekapan kasihnya, aku menemukan rumah dan kehangatan, seolah setiap peluh dan harapan terjalin dalam ikatan yang tak terpisahkan. Bunda adalah cahaya paling lembut dalam hidupku, memahami setiap bisu dan tawa. Kasihnya membangkitkan rasa iri di hati anak-anak lain, seolah aku adalah bintang yang bersinar paling terang di antara mereka. Tapi aku tak peduli, yang terpenting adalah Bunda menyayangiku.

Kini, di ambang kedewasaan, aku melangkah di usia 18 tahun, dengan impian berkilau untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi. Meski suara ejekan teman-temanku kadang menggema, semangatku takkan pudar. Dengan setiap helai buku dan titisan keringat, aku berjuang meraih beasiswa, menapaki jalan menuju cita-cita yang takkan surut.

Di antara hamparan jurusan yang berkilau, hatiku terikat pada Jurusan Pertanian, laksana akar yang menyatu dengan tanah. Karena sejak masa kanak, bersama kasih sayang Bunda, kami sering menanam benih bunga matahari bersama, menyirami harapan di setiap helai daun yang menjulang. Dari tanah yang subur, aku belajar bahwa kehidupan tumbuh dalam pelukan cinta dan keindahan, menjadikan setiap tanaman sebagai simbol impian yang ingin kuraih.

Namun sekarang, bunga matahari yang paling kucintai telah layu, ia pergi untuk kembali mekar di taman surga. Kini, tiada lagi yang menyayangi dan memberi semangat, seperti bintang yang redup di langit malam. Dalam sepi yang membungkus, aku merindukan suara lembut dan pelukan hangat yang dulunya menguatkan. Namun, di balik kesunyian ini, aku belajar menggali kekuatan dari dalam, menyalakan api harapan yang takkan padam meski sendirian.

Sejak kepergian Bunda, aku serasa berjalan tanpa arah. Hingga ketika langit berwarna keemasan aku duduk dalam keheningan, entah berapa lama aku termenung sembari menatap bunga matahari di bahu sungai, tiba-tiba ada seorang pria yang wajahnya nampak asing datang menghampiriku.

“Mengapa kau sendirian disini? Tempat ini tidak terlalu ramah untuk wanita, banyak penjahat yang akan membahayakan keselamatanmu,” ujarnya lembut.

“Aku tidak peduli, rasanya hidupku sudah tak berarti lagi, memang tak ada yang melindungiku sejak kematian Bunda,” ucapku sambil menyeka kesedihan.

Pria itu terdiam mendengar ucapanku, tak lama ia duduk di sampingku, menghuni ruang disisiku dalam keheningan.

“Menangislah Nona, terkadang menangis adalah bentuk bisu dari merindukan seseorang. Rasa-rasanya memang energi pemulihan di bumi sedang direstorasi pada waktu-waktu seperti ini.”

Kata-kata itu membuatku tak mampu mengontrol emosi, tanpa ku sadari aku menangis sejadi-jadinya di samping pria asing itu. Hingga tak terasa senja berganti malam. Pria itu tetap diam menatapku yang terus menangis sesegukan. Ia sama sekali tak mengucapkan apapun, tak juga menghentikan tiap tetes air mataku.

“Mengapa kau mau menemaniku? Bukan kah kita tak saling mengenal?” Tanyaku.

“Kita memang tak saling kenal, tapi apa yang kau rasakan kini adalah refleksi perasaan yang sama denganku.”

“Apa maksudmu? Apakah kaupun sedang berduka?”

“Iya, aku berduka. Tapi bukan karena kematian, namun tentang kebencian.” “Aku tidak mengerti apa yang kau maksud,” ujarku heran.

Namun pertanyaanku itu tak dihiraukan olehnya. Ia langsung mengalihkan pembicaraan dengan bertanya namaku. Sejak saat itu, kami pun berkenalan. Sekarang aku tahu nama pria asing itu adalah Rudi. Bagiku, ia adalah laki-laki gagah nan tampan. Tatapannya membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya dihidupku.

Setelah berkenalan, ia mengajakku pulang ke panti asuhan. Tak ku sangka, walau setelah ia tahu aku ini hanya jiwa yang tumbuh dari panti, ia tetap mau ber interaksi denganku.

Waktu terus berputar. Setelah kepergian Bunda, kini aku merasakan kehadiran kasih yang tak pudar, seolah ada jiwa baru yang tulus menyayangiku, yaitu Rudi. Aku terus bertemu dengan Rudi di bahu sungai setiap sore untuk menikmati senja bersama. Hingga pada sore hari yang lebih cerah dari biasanya, Rudi akhirnya menyatakan perasaan nya kepadaku.

“El, sejak pertama kali aku bertemu denganmu, entah mengapa aku merasa sangat dekat serta memiliki ikatan kuat dengan mu. Sejak saat itu, aku merasa kaulah yang ditakdirkan untukku. Maukah kau jadi kekasihku, aku janji akan menggantikan peran Bunda yang selalu menyayangimu.” Tanpa ragu aku katakan “Iya.”

Sejak saat itu, aku memberanikan diri pamit dengan teman-temanku di panti untuk memulai hidup baru dan menggapai mimpiku untuk kuliah. Kabar baiknya, aku diterima di jurusan impianku yaitu agribisnis dengan beasiswa penuh sampai aku lulus. Sekarang aku tinggal di kos dekat dengan kampusku.

Rudi bekerja sebagai karyawan biasa di salah satu kantor pemasaran di kota kami. Saat gajian, ia tak ragu menyisihkan gajinya untuk membantu kebutuhanku. Ia adalah sosok pria yang paling baik menurutku, kami berencana akan melangsungkan pernikahan setelah aku lulus kuliah.

Tak terasa, berkat Rudi yang selalu mendukungku, aku sekarang sudah semester atas dan akan melaksanakan KKN di Kecamatan Muara Bulian dalam waktu dekat, berat rasanya harus berpisah dengan Rudi walau hanya beberapa bulan saja. Tapi tetap harus aku lakukan sebagai syarat kelulusan.

Namun ternyata, di waktu yang sama, Rudi harus pergi keluar kota karena urusan pekerjaan, jadi terpaksa aku mempersiapkan kepergianku sendiri tanpa Rudi. Aku pun bahkan tak sempat memberitahunya di mana lokasi KKN yang akan aku kunjungi, mungkin karena sibuk ia juga tak sempat bertanya.

“Jaga dirimu baik-baik ya, El. Aku akan selalu merindukanmu disini.”

***

Sesampainya di Kecamatan Muara Bulian, kehidupan petani padi berjalan dengan ritme yang sederhana namun penuh makna. Di antara ladang-ladang hijau yang membentang, terdapat seorang juragan bernama Pak Joko. Ia adalah sosok yang dulunya terkenal bengis dan sering menindas petani kecil di desanya. Tapi sekarang setelah ia tak muda lagi, ia menjadi orang yang lumayan baik dan ramah.

Di hari penyuluhan, suasana di balai desa terasa ramai. Para petani berkumpul, saling berbincang dan berbagi cerita tentang pengalaman mereka. Pak Joko sangat terkesan melihatku semangat menjelaskan berbagai teknik pertanian modern. Ia pun turut menjelaskan tentang penggunaan pupuk organik dan cara mengendalikan hama secara alami. Para petani mendengarkan dengan saksama, mencatat setiap informasi yang diberikan.

Di tengah keramaian, aku sekilas mendengar para petani berbisik seakan keheranan.

“Aku jarang melihat Pak Joko tersenyum ramah seperti itu.”

“Iya, tidak biasanya ya, kesambet apa dia,” ujar salah satu petani keheranan.

Aku hanya berfikir bahwa mungkin Pak Joko terkesan dengan hasil kerjaku lalu membuat hatinya cukup senang. Bagiku Pak Joko adalah orang yang cukup baik, ia selalu membantuku ketika aku mengalami kesulitan.

Suatu hari, aku hendak berkunjung ke rumah Pak Joko untuk suatu urusan. Tubuhnya gemetar dengan langkah perlahan menyambutku. Kulihat rumahnya yang besar tidak terurus bahkan banyak sarang laba-laba. Saat sedang melihat-lihat, kudapati foto yang tak asing, tak lain adalah fotoku saat bayi, foto yang sama persis seperti yang Bunda tunjukkan padaku. Selain foto itu, kudapati banyak fotoku bersama anak laki-laki yang umurnya sekitar 4 tahun lebih tua dariku.

Dalam keheningan yang membingungkan, tiba-tiba suara Pak Joko memecah sunyi memanggil namaku, seakan waktu berhenti sejenak, menggugah rasa ingin tahu yang terpendam.

“Elfrina, kenapa kamu melihat foto-foto itu penuh bingung?”

Tatapan bingungku menari, antara keheranan dan harapan, seperti embun pagi yang menanti sinar, penuh misteri dalam setiap detiknya.

“Bayi perempuan di foto ini siapa, Pak?”Tanyaku heran. “Itu adalah anakku.”

“Dimana anak Bapak sekarang?” Tanyaku memastikan.

“Entah di mana keberadaannya, sejak bayi ia terpisah denganku karena kesalahanku sendiri.”

Kegelisahan ini akhirnya mencapai puncak, diam-diam air mata jatuh di pipi, mata terpejam bibir terkatup rapat, bergetar hebat. Rasanya, seluruh dunia berkonspirasi memberikan kebingungan dahsyat yang membuat dada terasa sesak akan meledak. Kecewa namun rindu, benci namun rindu, sakit hati namun rindu. Ingin kupeluk ayah kandungku itu, namun rasanya aku belum bisa mencerna semua ini.

“Tidak apa-apa Pak saya hanya kagum dengan foto-foto ini,” ucapku mengelak, lalu pergi meninggalkan Pak Joko.

Sesampainya di tempat penginapan, aku tak tahan menanggung semua beban ini sendiri, akhirnya aku menelpon Rudi memintanya datang menemuiku. Dengan sigap, ia langsung datang ke Desa Muara Bulian untuk menenangkanku, tanpa memikirkan pekerjaannya.

“El, kamu tidak apa-apa kan? Adakah yang menyakiti mu disini? “Pak Joko,”

Belum sempat aku menceritakan semuanya, saat mendengar nama Pak Joko, Rudi langsung marah besar. Dengan tangannya yang sudah mengepal penuh kebencian, ia membawaku ke rumah Pak Joko seakan tempat ini tak asing untuknya.

“Keluar kau setan!, apakah setelah menyakiti ibuku kau ingin menyakiti kekasihku juga?” Ujarnya teriak sambil berusaha memukul Pak Joko.

“Tunggu ada apa ini? Ini tidak seperti yang kau pikirkan anakku.”

Anakku? Aku terdiam membisu, semua kejanggalan ini membuat kepalaku rasanya akan meledak dalam waktu dekat.

“Tunggu Rudi, jadi beliau ini ayahmu?” Tanyaku heran.

“Iya, tapi sejak 10 tahun silam ia bukan lagi ayahku. Aku sudah meninggalkannya dan hidup mandiri di kota, karena ia sangat jahat, ia pernah menukar harga diri ibuku dengan investornya demi harta, hingga ibuku lebih memilih mati bunuh diri karena merasa kesuciannya direnggut oleh pria yang bukan suaminya.”

Mendengar pernyataan itu, aku mencari foto-foto tadi dan langsung menunjukkannya kepada Rudi.

“Rudi, apakah anak kecil di dalam foto ini adalah kamu?” “Iya, dapat dari mana kamu foto-foto itu?” Tanya Rudi heran.

“Asal kau tau, bayi yang disampingmu ini adalah aku,” Pak Joko dan Rudi sangat terkejut mendengar perkataanku.

“Jadi kamu adalah anakku?” Tanya Pak Joko sambil berusaha memelukku.

“Huh! Mengapa kamu membuangku? Hingga aku harus hidup memprihatinkan di panti asuhan?” Tanyaku sambil mendorongnya.

“Aku dulu memang tidak mengharapkan anak perempuan dan tidak pernah menghargai perempuan, hingga aku diam-diam membuangmu ke panti tanpa sepengetahuan ibumu, tapi sekarang aku menyesal. Tolong maafkan aku, ampuni dosaku. Kalian berdua tidak bisa menjadi sepasang kekasih karena kalian adalah anak kandungku,” ucapnya menangis.

Pak Joko terus meminta maaf kepada kami berdua. Hingga tiba-tiba ia mengalami serangan jantung dan di nafas terakhirnya. Ia berkata, “Tolong maafkan segala dosa-dosaku, ampuni aku. Tolong hiduplah berdampingan sebagai saudara, saling menjaga.”

***

Setelah menyelesaikan urusan pemakaman ayah kandungku, aku dan Rudi merasa canggung satu sama lain, kami adalah korban dari semua ini. Sore itu, kami kembali ke rumah peninggalan ayah.

“Apa rencanamu setelah ini?” Tanya Rudi.

“Aku akan kembali ke kota, menyelesaikan kuliahku dan pergi mengambil S2 diluar negeri.”

“Pantas saat pertama kali bertemu denganmu aku langsung merasa ada ikatan kuat antara kita. Andai saja waktu pertama kali kita bertemu aku langsung menceritakan kisah hidupku, mungkin jalannya tidak akan serumit ini,” Katanya lesu.

“Setelah ini, carilah perempuan yang bisa mengerti dirimu dalam segala hal. Aku akan berusaha merelakanmu walau berat dan berusaha melupakan segalanya.”

“Kalau boleh jujur, aku tidak akan secepat itu mendapatkan penggantimu, kamu satu-satunya orang yang aku cintai, tapi takdir seperti nya tidak berpihak pada kita.”

***

Sejak kejadian itu, kami sepakat mewakafkan rumah mewah peninggalan ayah untuk dijadikan musala untuk warga disana, hitung-hitung untuk membayar dosa-dosa ayah kepada para petani kecil di desa itu. Rudi pun kembali melanjutkan pekerjaan nya. Sedangkan aku, aku meneruskan kuliahku sampai sarjana.

Saat hari wisuda tiba, Rudi datang membawa karangan bunga matahari kesukaanku yang sangat indah.

“Selamat wisuda Elfrina adikku. Setelah ini, lanjutkanlah mimpimu untuk S2 ke luar negeri, aku akan berusaha sekuat tenaga membiayaimu dari sini,” ucapnya yang membuatku sedih sekaligus terharu.

***

Setelah saat itu, aku benar pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikanku. Tidak ingin ku putar kembali waktu untuk mengulang yang pernah terjadi, aku ingin mempercepat waktu agar yang telah terjadi tersalip jauh dalam lipatan masa lalu. Tidak ingin kuluangkan waktu untuk merenung dan mengenang, aku ingin pikiranku penuh agar memori ini tergeser tak terfokuskan. Ingin kulakukan apapun untuk membius rasa yang menyengsarakan ini untuk sementara dan jika bisa biarlah membius selamanya.

Referensi:

Naibaho, E. B. (2024). Penilaian petani terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluh pertanian lapangan pada usaha tani padi sawah di kecamatan Muara Bulian. Jambi: Universitas Jambi. https://repository.unja.ac.id/60570/. Diakses pada 20 September 2024.

 

Nama : Syaripa Anisa

NIM    : 06021182328050

Mata Kuliah : Mennulis Kreatif